Tidak Dikategorikan

Clean Up Your Mess & Sunatan Massal

Suatu pengalaman menarik malam ini ketika bersama istri dan my lil boy merencanakan makan diluar. Meski sore tadi hujan diselingin angin kencang dan petir sesekali, kami tetap memutuskan berangkat.

Sesampai di mall, karena kebingungan kami akhirnya melangkahkan kaki ke outlet kepunyaan seorang kolonel Amerika.
Awalnya semua berjalan dengan lancar. Seperti biasa antri didepan kasir, memesan makanan lalu membayar, terus membawa makan kemeja. Tapi ketika hendak mengambil sambal, seperti ada yang aneh kok hanya ada kran sambal cabe, tidak ada kran untuk saus tomat. Meski anak saya meminta saos tomat, akhirnya saya bawakan saos cabe saja. Alhasil sesekali mulutnya mengeluh kepedasan karena makan kentang sambil mencocol saos cabe.

Keanehan hari ini tidak berhenti. Ketika hendak mengambil pipet/sedotan yang biasa berada disamping kran sambal, kotak sedotan tersebut juga tidak berada disana. Penasaran saya colek bahu petugas yang berada dekat situ dan bertanya kemana perginya kotak sedotan misterius itu. Sang petugas pria itu kemudian memberi tanda dengan tangan kanannya menunjuk kearah kasir.

Dengan langkah terseret saya menuju kearah kasir yang sedang sibuk melayani konsumen. Dan tidak mau menunggu lama saya menginterupsi sang kasir dengan sapaan diiringi permintaan. “Mbak minta sedotan dong 3!”. Nah jawaban sang kasir membuat saya kaget dan hampir terjengkang kebelakang. “Maaf pak, sedotannya tidak ada. Kami tidak menyediakan sedotan lagi dioutlet ini”. What?….

Baru kemudian setelah duduk saya disadarkan kalau lebih dari 70% konsumen memesan minuman Float yang ternyata punya sedotan besar seperti sedotan bubblenya Chatime (kok mereka dapat, katanya sudah tidak menyediakan). Sisanya minum Mirinda (Pepsinya pas habis) dengan bibir menyentuh gelas paper cup yang kasar pinggirannya. Luntur…luntur deh tuh lipstik kata emak-emak meja sebelah.

Saya yang kebetulan memesan Mirinda dengan es mengutuk dalam hati. Bukan apa-apa, sebagai orang dengan gigi sensitif digigi depan, bisa dibayangkan rasa ngilunya minum es, apalagi esnya bisa nempel langsung kegigi karena harus meneguk langsung di cup.
Ah sudahlah pikir saya… Mungkin mereka lagi berhemat, mungkin juga stok sedang habis, atau mungkin kebijakan sementara dari outlet. Saya sih berpikir positif saja. Toh selama ini saya tidak pernah kecewa kalau makan di outlet mereka. Tapi memang pengalaman malam ini tentu kurang mengenakkan.

Ada cerita lain lagi dioutlet ini waktu makan tadi. Ketika makan saya cermati ada pengumuman beberapa kali lewat speaker yang berisi himbauan bagi konsumen yang makan disana untuk merapikan makanan, menaruhnya di baki dan mengantarkannya kemeja yang sudah ditentukan.

Wow.. Ini terobosan baru pikir saya. Self service istilahnya. Bukan self service, tapi full self service.

Seorang rekan kerja senior dulu pernah bercerita pengalamannya berkunjung ke tempat anaknya bersekolah di Amsterdam. Selama disana ia melihat disiplinnya masyarakat dalam hal membeli makanan baik dine in maupun take away. Khusus take away, pembungkus makanan tidak menggunakan kantong plastik seperti yang sering kita lihat pada umumnya. Dan untuk yang makan ditempat, setiap konsumen diwajibkan merapikan sendiri peralatan makan dan juga mengumpulkan sisa makanan sebelum meninggalkan restoran tersebut. Nah jika kita yang biasa jadi selonong boy, amit-amit deh pasti ditegur sama petugas yang ada.

Katanya konsep self service tersebut ternyata dikarenakan keterbatasan pegawai restoran disana (sebagian besar pegawai dialokasikan untuk menyiapkan makanan di dapur resto, dan bocorannya gaji pegawai disana cukup tinggi sehingga menambah pegawai akan memberikan biaya ekstra bagi pemilik restoran.

Ternyata tidak hanya di Belanda, restoran-restoran cepat saji semisal Mc. D sudah menerapkan konsep self service seperti itu dibeberapa negara didunia, salah duanya adalah Jepang dan Australia.
Dan untuk Indonesia hal ini termasuk baru, bukan apa-apa merubah kebiasaan dan menerima budaya baru tentu membutuhkan waktu. Belum lagi pengaruh karakteristik masyarakatnya.

Seorang blogger menyebut hal ini sebagai manusia “mental majikan”. Tapi entahlah toh masing-masing pihak punya argumen sendiri. Yang pro mengatakan sudah saatnya mendisiplinkan diri sendiri , membantu meringankan pekerjaan pegawai restoran. Dan yang kontra akan mengatakan “wah gimana, kan saya bayar lho. Wajar dong saya pelayanan lebih”.
Jika diadu keduanya pasti perseteruan yang tidak ada habisnya, mungkin episodenya bisa mengalahkan sinetron Tersanjung atau Cinta V3

Kesimpulan saya sekaligus kesan akhir tulisan ini. Yang pertama gerakan self service seperti yang dilakukan outlet ini cukup bagus, hanya perlu sosialisasi dan juga insentif yang menarik agar konsumen bisa secara sukarela dan akhirnya terbiasa merapikan sisa makanan sendiri, dan tentu bertanggung jawab terhadap kebersihan saat ia menikmati makanan.

Yang kedua, gerakan self service ini bisa disebut juga praktik efisiensi, menggunakan peran konsumen untuk membantu meringankan pekerjaan pegawai.
Tapi yang perlu diingat adalah dengan pekerjaannya yang dibantu, konsumen harus juga mendapat benefit, bukan akhirnya malah sunat sana sini. Sambal tomat hilang, merica habis, sedotan ditiadakan. Mungkin saatnya kita ramaikan tagar #makandienohbawasedotanndiri.

Standar